TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengajukan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sebesar 1,52 hingga 1,75 persen. Target defisit ini terus turun meski pemerintah ingin kebijakan fiskal yang lebih ekspansif.
"Sebagai tahun pembuka periode pemerintahan baru, kebijakan makro fiskal dalam tahun 2020 dirumuskan sebagai kebijakan fiskal ekspansif yang terarah dan terukur," kata Sri Mulyani saat ditemui usai menyampaikan pidato di Rapat Paripurna ke-17 di Gedung Nusantara II, DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Senin, 20 Mei 2019.
Untuk tahun ini saja, target defisit APBN terhadap PDB mencapai 1,84 persen. Target ini sudah jauh lebih rendah dibandingkan target defisit di APBN 2018 yang sebesar 2,12 persen atau sekitar Rp 314 triliun. Untuk tahun 2018, realisasi yang berhasil dicapai lebih rendah yaitu 1,76 persen, atau sekitar Rp 259,9 triliun.
Sri Mulyani mengatakan, besaran defisit yang diusulkan dalam pembahasan RAPBN 2019 ini diharapkan akan terus menjaga sumber-sumber pembiayaan yang kreatif, namun dilaksanakan secara hati-hati. Defisit dan rasio utang, kata dia, akan tetap dikendalikan dalam batas aman, sekaligus mendorong keseimbangan primer yang positif.
Selain itu, Sri Mulyani menyebut kebijakan pembiayaan akan terus dilakukan dengan memberdayakan peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Layanan Umum (BLU) dalam mengakselerasi pembangunan infrastruktur. Di sisi lain, peran swasta pun akan terus didorong melalui skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).
Selain itu, pemerintah juga mendorong belanja negara yang lebih berkualitas melalui penghematan belanja secara masif, penguatan belanja modal, reformasi belanja pegawai, dan penguatan transfer ke daerah, maupun dana desa. Dengan berbagai upaya ini, maka belanja negara dalan APBN 2020 diperkirakan 14,4 persen hingga 15,4 persen terhadap PDB.